Minggu, 26 Mei 2013

PERBATASAN DAN PERMASALAHAN


Perbatasan Wilayah Negara Indonesia dengan Negara Asing Perjanjian dan Permasalahan yang Ada

Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau, oleh karena itu ia disebut juga sebagai Nusantara. Dengan populasi sebesar 237 juta jiwa pada tahun 2010, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik, dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden yang dipilih langsung.

Ibu kota negara ialah Jakarta. Indonesia berbatasan darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India. Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya di Palembang menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India.

Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Setelah berada di bawahpenjajahan Belanda, Indonesia yang saat itu bernama Hindia-Belanda menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat berbagai hambatan, ancaman dan tantangan dari bencana alam, korupsi, separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.

Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Suku Jawa adalah suku terbesar dengan populasi mencapai 41,7% dari seluruh penduduk Indonesia. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka tunggal ika" ("Berbeda-beda tetapi tetap satu"), berarti keberagaman yang membentuk negara. Selain memiliki populasi padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayatiterbesar kedua di dunia.

Indonesia juga anggota dari PBB dan satu-satunya anggota yang pernah keluar dari PBB, yaitu pada tanggal 7 Januari 1965, dan bergabung kembali pada tanggal 28 September 1966 dan Indonesia tetap dinyatakan sebagai anggota yang ke-60, keanggotaan yang sama sejak bergabungnya Indonesia pada tanggal 28 September 1950. Selain PBB, Indonesia juga merupakan anggota dari ASEAN, APEC, OKI, G-20 dan akan menjadi anggota dari OECD.


UNDANG - UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN BATAS WILAYAH LAUT RI - SINGAPURA (UNTUNG RUGI UU NO.4 TAHUN 2010)

Baru-baru ini Indonesia menerbitkan UU No. 4 Tahun 2010 Tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Republik Singapura terkait penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di bagian barat Selat Singapura. Keluarnya peraturan ini jadi angin segar bagi Indonesia, guna menindaklanjuti kepastian hukum perbatasan kedua Negara tersebut.
Undang-undang berjudul Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore relating to the Delimitation of the Territorial Seas of the Two Countries in the Western Part of the Strait of Singapore disahkan pada 22 Juni 2010, berisi pengesahan perjanjian diplomatik. Traktat ini merupakan kelanjutan Perjanjian Bilateral yang telah disahkan terlebih dulu pada 25 Mei 1973.
Perjanjian Bilateral 1973 berisi penentuan garis batas laut wilayah Indonesia dan Singapura berdasarkan Hukum Internasional. Di mana tata cara penetapan batas maritim diatur dalam Konvensi Hukum Laut (Konvensi Hukla) 1982. Indonesia dan Singapura terikat dengan Konvensi Hukla.
Konvensi Hukla menyebutkan, dalam menentukan garis batas laut wilayah ini, Indonesia menggunakan referensi titik dasar (basepoint) Indonesia di Pulau Nipa serta garis pangkal kepulauan Indonesia (archipelagic baseline), yang ditarik dari Pulau Nipah ke Pulau Karimun Besar. Garis pangkal tersebut adalah garis Negara pangkal kepulauan yang dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2002, sebagaimana telah diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2008.
Dibuatnya UU No. 4/2010 pada prinsipnya memberikan keuntungan dari berbagai aspek, seperti untuk memudahkan pengawasan, penegakan kedaulatan Negara di luar wilayah, menjamin keselamatan jalur navigasi di selat Singapura dan menjaga hubungan baik kedua negara.
Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa perjanjian ini hanya memprioritaskan batas laut saja. Tidak serta merta dengan wilayah udara Indonesia khususnya daerah yang berbatasan dengan Singapura, seperti wilayah udara Batam yang saat ini masih dikontrol oleh Singapura. Di Batam sering terjadi miskomunikasi jalur penerbangan Indonesia-Singapura. Bahkan sebagian wilayah udara Indonesia tersebut diduduki FIR (Flight Information Region) Singapura, digunakan untuk pelayanan lalu lintas udara. Tindakan itu bertentangan dengan pasal 6 UU No. 1/2009 Tentang Penerbangan.
Ratifikasi perjanjian militer OFTAR (Overland Flying Training Area Range) dalam Defence Cooperation Agreement atau perjanjian kerja sama pertahanan dan keamanan antara Indonesia-Singapura juga bisa dimungkinkan menjadi unsur kendala pelaksanaan UU No. 4/2010. Pasalnya dalam perjanjian tersebut Angkatan bersenjata Singapura berhak menggunakan sebagian wilayah perbatasan untuk latihan militernya. Tak hanya itu, perjanjian MTA (military Training Area) yang diratifikasi oleh Indonesia dan Singapura pada 1995 masih berlaku. MTA menyatakan, Singapura berhak menggunakan perairan Tanjung Pinang dan Laut Cina Selatan untuk keperluan militernya. Ini menyebabkan kekaburan batas laut Indonesia-Singapura.
Berbagai pertentangan perjanjian lainnya dan peraturan Indonesia dengan UU No. 4/2010 mengharuskan Pemerintah Indonesia mengkaji lebih dalam masalah perbatasan untuk kemungkinan terburuk di masa yang akan datang serta mengkolektif perjanjian dengan Singapura terkait perbatasan baik itu tentang garis batas laut maupun wilayah udara yang nantinya dijadikan peraturan tunggal perbatasan kedua Negara. Tidak hanya batas laut saja yang mendapatkan kepastian hukum, tapi udara dan ruang angkasa Negara ini perlu mendapatkan perlindungan regulasi pemerintah.

PERMASALAHAN ATAU KONFLIK BATAS WILAYAH LAUT
laut, perikanan, wisata bahari, eksplorasi lepas pantai (off shore), transportasi laut dan lainnya. Belum adanya kesepakatan batas laut Indonesia dengan beberapa Negara tetangga menimbulkan permasalahan saling klaim wilayah pengelolaan, khususnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Beberapa kasus yang ada antara Indonesia dan Malaysia merupakan cerminan rentannya perairan daerah perbatasan. Terjadi saling tangkap nelayan baik dari Indonesia maupun Malaysia bahkan bias mengganggu hubungan diplomatic kedua Negara.


Permasalahan batas laut merupakan hal mendasar yang seharusnya segera di selesaikan dan disepakati oleh kedua negara. Bukan dengan saling menangkap kapal atau saling klaim wilayah perairan. Sebagai Negara kepulauan, Indonesia seharunya lebih proaktif dalam penyelesaian batas laut dengan Negara tetangga, dengan demikian adanya keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Maritim yang kuat bisa terealisasi. Dari beberapa batas laut Indonesia dengan Negara tetangga, ada Sembilan batas laut yang memiliki kerawanan konflik antar negara. Indonesia Maritime Magazine mencoba untuk mengulas permasalahan batas laut tersebut.

Indonesia-Malaysia
Garis batas laut wilayah antara Indonesia dengan Malaysia adalah garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977. Berdasarkan UU No 4 Prp tahun 1960, Indonesia telah menentukan titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai implementasi dari UU tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah perairan yang ada di Selat Malaka. Pada Agustus 1969, Malaysia juga mengumumkan bahwa lebar laut wilayahnya menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah danContigous Zone). Sehingga timbul persoalan, yaitu letak garis batas laut wilayah masing-masing negara di Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau kurang dari 24 mil laut. Adapun batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969.


Atas pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan (Februari-Maret 1970) yang menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik koordinat tersebut ditetapkan berdasarkan Garis Pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Selama ini penarikan batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Perairan Selat Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958. MoU RI dengan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 yang menetapkan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai acuan titik dasar dalam penarikan Garis Pangkal jelas jelas merugikan pihak Indonesia, karena median line yang diambil dalam menentukan batas landas kontinen kedua negara tersebut cenderung mengarah ke perairan Indonesia.


Tidak hanya itu, Indonesia juga belum ada kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang ZEE-nya. Penentuan ZEE ini sangat penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan masing-masing negara. Akibat belum adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, sering terjadi penangkapan nelayan oleh kedua belah pihak. Hal ini disebabkan karena Malaysia menganggap batas Landas Kontinennya di Selat Malaka, sekaligus merupakan batas laut dengan Indonesia. Hal ini tidak benar, karena batas laut kedua negara harus ditentukan berdasarkan perjanjian bilateral.


Berdasarkan kajian Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, batas laut Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka seharusnya berada di median line antara garis pangkal kedua negara yang letaknya jauh di sebelah utara atau timur laut batas Landas Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang jarak antara kedua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut. Jika ditinjau dari segi geografis, daerah yang memungkinkan rawan sengketa perbatasan dalam pengelolaan sumber-sumber perikanan adalah di bagian selatan Laut Andaman atau di bagian utara Selat Malaka.

Indonesia-Singapura
Penentuan titik-titik koordinat pada Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura didasarkan pada prinsip sama jarak (equidistance) antara dua pulau yang berdekatan. Pengesahan titik-titik koordinat tersebut didasarkan pada kesepakatan kedua pemerintah. Titik-titik koordinat itu terletak di Selat Singapura. Isi pokok perjanjiannya adalah garis Batas Laut Wilayah Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat Singapura yang sempit (lebar lautannya kurang dari 15 mil laut) adalah garis terdiri dari garis-garis lurus yang ditarik dari titik koordinat.


Namun, di kedua sisi barat dan timur Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura masih terdapat area yang belum mempunyai perjanjian perbatasan. Di mana wilayah itu merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Pada sisi barat di perairan sebelah utara pulau Karimun Besar terdapat wilayah berbatasan dengan Singapura yang jaraknya hanya 18 mil laut. Sementara di wilayah lainnya, di sisi timur perairan sebelah utara pulau Bintan terdapat wilayah yang sama yang jaraknya 28,8 mil laut. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut.


Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas. Untuk itu batas wilayah perairan Indonesia – Singapura yang belum ditetapkan harus segera diselesaikan, karena bisa mengakibatkan masalah di masa mendatang. Singapura akan mengklaim batas lautnya berdasarkan Garis Pangkal terbaru, dengan alasan Garis Pangkal lama sudah tidak dapat diidentifikasi.


Namun dengan melalui perundingan yang menguras energi kedua negara, akhirnya menyepakati perjanjian batas laut kedua negara yang mulai berlaku pada 30 Agustus 2010. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah berlangsung sejak tahun 2005, dan kedua tim negosiasi telah berunding selama delapan kali. Dengan demikian permasalahan berbatasan laut Indonesia dan Singapura pada titik tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan konflik, namun demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum disepakati dan masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar